Thursday, March 1, 2007

Revisi Perda Pendidikan Untuk Siswa Miskin

Revisi Perda Pendidikan Untuk Siswa Miskin Oleh: OKY SYEIFUL RAHMADSYAH HARAHAP Beberapa waktu lalu, Wakadisdik Kota Bandung, Evi S. mengatakan akan merevisi Perda kota Bandung Nomor 20 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Bandung (PR, 8/2 ‘07). Gagasan ini dapat kita sambut baik, karena keinginan untuk merevisi Perda 20/2002 menjadi hal logis dan sesuai dengan tuntutan zaman yang telah berubah, disebabkan hadirnya Perda tersebut sebelum lahirnya payung hukum pendidikan, yaitu Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional No. 20/2003. Apalagi setelah adanya undang-undang payung pendidikan, berbagai peraturan perundang-undangan telah lahir, seperti PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, KepMendiknas No.129a/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan, dan lain sebagainya. Salah satu point penting ketika akan melakukan revisi Perda 20/2002 adalah bagaimana melibatkan para stakeholder pendidikan kota Bandung agar dapat urun rembug dalam menghasilkan kebijakan pendidikan yang berpihak terhadap siswa miskin. Ini penting, karena siswa yang berasal dari golongan miskin sangat rentan terhadap akses pendidikan. Jika mereka dibantu pun, belum tentu dapat bersekolah dengan nyaman, karena masih harus menanggung biaya personal, seperti biaya transport, seragam, dan sebagainya. Pembiayaan Pendidikan Salah satu isu pendidikan yang terus menjadi polemik adalah mengenai pembiayaan pendidikan. Ketentuan konstitusi yang mencantumkan angka 20% yang harus dianggarkan dalam APBN/APBD, ternyata sampai saat ini masih belum terealisasi, meski segelintir daerah telah berhasil memenuhinya. Polemik pembiayaan terus berlanjut sampai pada isu pemerataan pendidikan dan perlindungan terhadap akses siswa miskin agar dapat sekolah. Untuk kota Bandung sendiri, perlindungan terhadap siswa miskin sebenarnya telah tertuang dalam Perda 20/2002 yang selama ini berlaku, dalam Pasal 3 (3) point 1 yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik berkewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada Pasal 45 (1) disebutkan: ”Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar mulai dari sekolah dasar (SD/MI) sampai pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP/MTs)”. Selanjutnya pada ayat (2): ”Program Wajib Belajar dilaksanakan secara merata dan berkeadilan dengan memperhatikan dan mengutamakan masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial budaya”. Kenyataannya, masih banyak siswa tidak mampu yang kesulitan mengakses pendidikan dasar di kota Bandung. Jika kita cermati, urusan wajib belajar adalah tanggung jawab hukum (liability) pihak pemerintah. Artinya, pemerintah tidak hanya memiliki tanggung jawab sosial atau politik saja, tapi juga tanggung jawab hukum yang jika tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi. Ini lah yang membedakannya dengan tanggung jawab masyarakat dalam hal pendidikan. Masyarakat memiliki tanggung jawab juga, tapi tanggung jawab yang diembannya haruslah dimaknai bukan sebagai tanggung jawab hukum, melainkan tanggung jawab sosial (responsibility) untuk turut berperan serta dalam memajukan pendidikan. Tanggung jawab sosial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk sumbangan tenaga, dana, waktu, pemikiran, keikutsertaan dalam mendirikan sekolah dan sebagainya. Melihat UU 20/2003, mengenai tangggung jawab pemerintah masih terdapat kerancuan. Pada Pasal 11 (2): Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pada Pasal 34 (1): Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selanjutnya pada ayat (2), disebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ironinya, pada pasal selanjutnya masih terdapat celah hukum yang membuat tanggung jawab hukum pemerintah menjadi bias. Pasal 46 (1) menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Padahal sudah jelas, adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjamin terselenggaranya jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan jika pemerintah berkelit dengan alasan ketidaaan dana, tetap pemerintah dan pemerintah pemerintah daerah harus menjamin tersedianya dana. Ini mengisyaratkan bahwa tanggung jawab hukum yang diemban oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pendidikan dasar, bukan lah hal main-main. Pemerintah harus berpikir ekstra dan bekerja ekstra untuk dapat melakukan pencarian dana (fund rising). Ada berbagai cara yang dapat ditempuh, seperti kerjasama dengan pihak swasta/asing, hibah, soft loan, dan berbagai kegiatan yang dapat menambah pembiayaan pendidikan. Untuk itu lah, maka dalam hal pembiayaan pendidikan, revisi Perda 20/2002 harus memuat mengenai makna tanggung jawab hukum pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan terutama pendidikan dasar. Ini tidak bisa multi tafsir, selain makna tunggal bahwa pemerintah daerah mengemban tanggung jawab hukum untuk membiayai semua kebutuhan siswa yang berusia 7-15 tahun (wajib belajar) dalam mengakses pendidikan. Mengenai keberpihakan terhadap siswa miskin, pemerintah daerah harus mencantumkan dalam Perda mengenai besaran tanggungan biaya personal (biaya tidak langsung) para siswa miskin yang akan menjadi tanggungan pemerintah. Revisi Perda 20/2002 kota Bandung harus mencantumkan secara tegas komitmen pemerintah daerah untuk membebaskan seluruh siswa dari segala biaya sekolah, karena ini adalah amanat konstitusi. Dalam lingkup masyarakat internasional, General Comment 13 on Rights to Education, Artikel 13 dari Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, pada angka 10 telah menyebutkan bahwa pendidikan dasar memiliki dua fitur yang sangat karakteristik: ia bersifat wajib dan bebas biaya (gratis) untuk semua orang. Keberpihakan terhadap siswa miskin yang harus dicantumkan secara tegas dan jelas, sesuai dengan sekema dalam Renstra Depdiknas, pada Bab VII mengenai pembiayaan pendidikan, yang menyebutkan bahwa pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 2005-2009 memilki beberapa fungsi, yaitu untuk memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya, memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan, serta sebagai insentif. Untuk dapat menghitung secara tepat pembiayaan yang dibutuhkan, memang hendaknya pemerintah menghitung unit cost persiswa. Kajian unit cost penting dilakukan pemerintah agar dapat mengetahui kecenderungan pembiayaan pendidikan di jenjang pendidikan dasar kota bandung, selain untuk mengidentifikasi biaya satuan pendidikan sesuai standar pelayanan minimum sebagai basis perumusan kebutuhan anggaran. Teridentifikasinya kebutuhan anggaran dan mekanisme pembiayaan pelayanan pendidikan, termasuk bagi siswa miskin di kota Bandung, akan sangat membantu pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik dalam bidang pendidikan. Unit cost merupakan semua komponen biaya yang dibutuhkan/dikeluarkan oleh tiap-tiap siswa agar dapat sekolah. Unit cost yang akan dihitung dapat meliputi biaya langsung dan tidak langsung. Dari perhitungan ini akan didapat gambaran berapa biaya yang harus dialokasikan dalam APBN/APBD/APBS, serta bagaimana dan dalam waktu berapa lama target itu harus tercapai. Penghitungan unit cost akan membantu berapa biaya yang harus dialokasikan oleh pemerintah untuk dapat menutupi biaya siswa miskin agar dapat sekolah. APBS Semangat otonomi daerah, otonomi sekolah, telah tercermin dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan konsep otonomi sekolah ini, pihak sekolah bersama para stakeholdernya akan menentukan mengenai pembiayaan sekolah yang terangkum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Mengingat otonomi yang begitu luas dalam hal mengatur pembiayaan oleh pihak sekolah, maka dirasa perlu adanya regulasi yang mengatur mengenai format penganggaran dalam APBS. Ini menjadi penting mengingat pembiayaan secara spesifik akan ditentukan oleh pihak sekolah, yaitu pihak sekolah bersama komite sekolah. Apalagi, dalam RPP Pendanaan Pendidikan juga memuat klausul terhadap satuan pendidikan (sekolah) jika sekolah yang bersangkutan tidak mematuhi peraturan ini. Karena sekolah memainkan peranan yang sangat vital seiring konsep otonomi, maka pembiayaan sekolah yang tertuang dalam APBS harus tercantum dalam revisi Perda ini. Perda 20/2002 yang selama ini berlaku sebenarnya telah memuat mengenai APBS dalam Pasal 23 (7). Tapi masih sumir. Sudah sepatutnya, revisi Perda memuat secara khusus ketentuan mengenai ketentuan format APBS. Selain untuk memperjelas koridor hukum mengenai pembiayaan (norma-norma penganggaran) di tingkat satuan sekolah, ketentuan khusus mengenai APBS sekaligus juga untuk mengatur ketentuan mengenai anggaran yang pro terhadap siswa miskin. Perlindungan hukum sangat dibutuhkan sebagai instrumen yang dapat memaksa orang (lembaga) berbuat/tidak berbuat sesuai dengan ketentuan yang diperundangkan. Apalagi dari berbagai temuan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak, ternyata sekolah pun banyak yang melakukan pungutan liar yang membebani para orangtua siswa. Mutlak adanya, pendidikan adalah untuk semua kalangan, yaitu siapapun yang memilki kemauan kuat untuk belajar; menembus batas SARA, batas geografis, batas ekonomis. Kepada mereka ini kesempatan untuk mengecap pendidikan yang lebih tinggi patut diberikan. Untuk itu, pemerintah wajib melindungi warganya dengan regulasi dan law enforcement agar akses pendidikan kepada setiap warganya dan affirmative action terhadap siswa miskin dapat diwujudkan. Pada akhirnya, segenap warga Bandung pastinya begitu merindukan lahirnya revisi Perda 20/2002 yang responsif, yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita yakin, dengan segala itikad baik yang ada dalam segenap sanubari para stakeholder pendidikan kota Bandung, kita dapat bahu-membahu untuk turut mendorong revisi Perda seperti yang kita impikan bersama. *.*CI-kpkb

No comments: