Monday, March 26, 2007

Revisi Perda Pendidikan Kota Bandung:Menyoal Konsistensi, Membela Kepentingan Siapa?

Revisi Perda Pendidikan Kota Bandung:Menyoal Konsistensi, Membela Kepentingan Siapa?
Oleh Fridolin Berek*) “ Perda 20/2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Bandung sudah harus derevisi karena kemunculannya premature sebelum ada UU 20/2003 tentang pendidikan. Oleh karena itu harus segera disesuaikan dengan UU tersebut “ demikian pernyataan Dra Hj., Kusmeini Hartadi, Anggota Komisi D, DPRD Kota Bandung dalam suatu kesempatan diskusi di Teras Mara (Radio MaraGitha) pada tahun 2005 yang lalu. Dengan kata lain, agenda untuk merevisi Perda 20/2002 ini sudah digagas sejak dua tahun yang lalu namun baru terealisasi pada tahun anggaran 2007. Alasan mendasar pertama mengapa revisi ini perlu dilakukan adalah demi konsitensi kebijakan. Bahwasanya setelah diundangkannya UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disusul berbagai PP (Peraturan Pemerintah) maka kebijakan-kebijakan di daerah perlu disesuaikan. Tentang Konsistensi Kebijakan Konsistensi kebijakan menunjuk pada keterkaitan antara kebijakan yang lebih tinggi dengan kebijakan-kebijakan di bawahnya. Dalam hal ini kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan kunci sebagai berikut: Apakah Perda 20/2002 sudah sejalan dengan kebijakan yang lebih tinggi dalam hal ini Perda Pendidikan Propinsi Jawa Barat, Peraturan-Peraturan Pemerintah dan yang lebih tinggi yakni UU Pendidikan dan UUD RI? Apakah pasal-pasal dalam UU Pendidikan, PP, Perda Propinsi dan Perda Kota Bandung tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Bandung saling merujuk atau malah saling mempertentangkan? Setelah ada UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) masih banyak PP (Peraturan Pemerintah) yang belum ditetapkan. Setidaknya baru ada PP tentang Standar Nasional Pendidikan dan Standar Pembiayaan Pendidikan. Hal ini berdampak pada proses Revisi Perda 20/2002 di Kota Bandung. Apakah harus menunggu semua PP ditetapkan pemerintah pusat atau dapat mengacu langsung pada UU Pendidikan dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan? Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) memandang, dengan merujuk UU 20/2003 dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan sesungguhnya revisi Perda tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Bandung sudah dapat dilakukan. Konsistensi dalam hal ini bisa dijawab dengan mengakomodir klausul-klausul penting dari UU dan PP di atas dan dijelaskan menjadi lebih rinci sesuai dengan karakteristik Kota Bandung. Salah satu rujukan yang hingga kini jadi perdebatan adalah mengenai pembiayaan pendidikan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 23 ayat 2 Perda 20/2002 bahwa: ”…Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD di luar belanja rutin, yang pelaksanaannya secara bertahap sesuai kemampuan daerah.” Sampai revisi ini dilakukan, diskursus mengenai ketentuan ini tidak pernah final. Bukan saja di Kota Bandung, tapi juga di tingkat provinsi bahkan di tingkat pusat. Mengapa bisa terjadi demikian? Suatu hal yang patut dipertanyakan adalah mengenai ketentuan tentang 20% alokasi APBN/APBD ini justru “digugat” kembali oleh negara (baca: birokrasi pendidikan) selaku pembuat regulasi itu sendiri. Apakah 20% yang dimaksud adalah dari total APBD/N?
Apakah alokasi seperti ini tidak akan mengakibatkan kecemburuan dari sector-sektor lain? Alokasi seperti ini tidak rasional. Jika 20% dari APBD sudah dialokasikan untuk pendidikan, 15% untuk kesehatan maka hanya tersisa 65% dari APBD untuk sector-sektor lain terutama untuk pembangunan fisik (infrastruktur daerah) Apakah 20% itu hanya dihitung dari total APBD yang dialokasikan di Dinas Pendidikan atau di Bidang Pendidikan atau untuk semua kegiatan pendidikan yang tersebar di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang ada di lingkungan pemerintah? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang sebenarnya muncul di kalangan birokrasi pendidikan? Berangkat dari kacamata hukum maka keputusan itu sesungguhnya sudah final dan tidak bisa diganggugugat lagi. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi untuk mencapainya. Strategi yang dimaksud yakni alokasi anggaran pendidikan diarahkan untuk mendukung pencapaian SPM (Standar Pelayanan Minimum) Pendidikan. Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu terlebih dahulu menetapkan SPM Pendidikan di Kota Bandung sehingga tidak perlu lagi terjebak pada pertanyaan-pertanyaan teknis seperti yang diwacanakan selama ini. Substansi Revisi Perda 20/2002 Menyoal konsistensi memang perlu. Hok Lin Leung (1985) mengatakan bahwa dalam kerangka evaluasi kebijakan maka konsistensi kebijakan menyangkut 5 hal penting yakni: Konsistensi secara hirarkis Konsistenti tentang nilai-nilai dasar dalam kebijakan Konsistensi pada konsep dan strategi yang terkandung dalam kebijakan Konsistensi mengenai data dan informasi Konsistensi berdasarkan persepsi stakeholders Konsistensi secara hirarkis dapat kita uji dengan cara melihat apakah ada klausul yang saling merujuk dan sebagainya. Problemnya tidak sebatas pada proses saling merujuk dan mengakomodasi dari hirarki yang ada namun lebih jauh lagi adalah pada nilai, konsep dan strategi yang dipakai untuk menjamin tercapainya cita-cita kebijakan itu sendiri. Sesungguhnya nilai atau semangat apa yang ada di dalam Perda 20/2002 tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota Bandung? Atau mungkin pertanyaan bisa kita ajukan pada proses revisi ini sendiri. Nilai dan atau semangat apa yang melandasi upaya revisi Perda ini? Apakah karena hanya untuk menyesuaikan klausul-klausul yang ada dalam Perda dengan kebijakan yang ada atau demi sebuah cita-cita pelayanan pendidikan yang lebih baik? Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) memandang revisi ini perlu dilakukan demi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan bagi masyarakat terutama bagi kelompok-kelompok yang “termarginalkan”. Inilah yang kita maknai sebagai nilai dasar yang harus terkandung dalam kebijakan. Oleh karena itu,usulan KPKB untuk masukan dalam revisi Perda 20/2002 menyangkut beberapa hal penting yakni: Pembiayaan pendidikan meliputi upaya pemenuhan standar pelayanan minimum, ketentuan tentang alokasi biaya pendidikan, pengelolaan dana pendidikan di tingkat pemerintah dan pengelolaan dana di tingkat satuan pendidikan. Tenaga kependidikan tercakup di dalamnya tentang keadilan bagi para guru, mutasi dan pengembangan kapasitas guru. Pengelolaan pendidikan yang di dalamnya mengatur tentang manajemen sekolah (pengelolaan di satuan pendidikan), komite sekolah dan dewan pendidikan Ketentuan dasar tentang sarana dan prasarana terutama tentang pentingnya rencana pembangunan (fisik) sekolah yang dibuat dalam masterplan pembangunan sekolah serta keharusan pemerintah untuk membuat rencana pencapaian SPM sesuai kebijakan tentang standar sarana dan prasarana pendidikan. Evaluasi pendidikan terutama tentang kewenangan melakuan evaluasi pendidikan oleh para guru. · Kurikulum khususnya tentang muatan lokal yang dibagi ke dalam 3 kelompok yakni kebudayaan dan kearifan lokal (living values), ketrampilan dan tekonologi tepat guna (contextual learning) dan kewirausahaan (enterpreneurship) Sanksi atas pelanggaran peraturan baik sanksi hukum (pidana/perdata) maupun sanksi administratif. Akhir kata: Untuk siapa PERDA Pendidikan Kota Bandung?? Sebagai kata akhir tulisan ini, pertanyaan di atas mungkin penting untuk kita renungkan. Jika kita masih menemukan ratusan bahkan ribuan anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan karena kesulitan biaya padahal negara telah berkomitmen untuk menjamin terselenggaranya pendidikan dasar bagi warga yang berusia 9-15 tahun, atau minimal sampai jenjang SMP? Jika kita masih menemukan guur yang marah karena dikritik oleh siswanya; kepala sekolah yang seolah menjadi “raja kecil” di sekolah padahal ia hanyalah seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai pimpinan manajemen sekolah? Jika kita masih menemukan gedung-gedung sekolah yang sebentar lagi ambruk sementara di tempat lain,ada gedung sekolah yang telah hampir mirip dengan “supermarket atau hotel berbintang”? Jika kita masih menemukan “bisnis buku di sekolah”; jika masih banyak pungutan liar di sekolah; jika lebih dari 80% biaya pendidikan di sekolah justru ditanggung oleh orang tua siswa padahal negara telah menjamin adanya alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% untuk pendidikan? Jika orang tua siswa terus diminta kontribusi dana untuk penyelenggaraan pendidikan tanpa ada pertanggungjawaban sementara dana pendidikan yang dialokasikan dari APBD masih juga diselewengkan tanpa ada sanksi hukum? Jika….dan………jika !!! *) Koordinator Pokja Kebijakan Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB)
Ketua Lembaga Advokasi Kerakyatan (LAK)
- Tulisan ini dimuat di Harian Radar Bandung, Edisi 26 Maret 2007

No comments: